Sejarah Desa

Platarejo merupakan salah satu desa di selatan kabupaten Wonogiri. Tempatnya masih asri, jauh dari polusi. Pemandangan sekeliling desa juga sangat menakjubkan dengan hamparan sawah yang membentang indah. Bukti dari keelokan desa Platarejo dengan adanya beberapa obyek wisata di desa tersebut, mulai dari Waduk Nawangan, Goa Platar, Goa Maria, Sendang Pucung, Gedong, dan lain sebagainya. Khusus untuk Sendang Pucung dan Gedong, asal usul kedua tempat tersebut menarik untuk dipelajari karena mengandung nilai satra dan sudah dipercaya warga sekitar secara turun temurun. Keberadan Sendang Pucung dan Gedong juga mencerminkan eksistensi wilayah Platarejo dari sejarah Jawa. Sebenarnya masih banyak cerita lain yang ada di desa Platarejo. Namun yang akan kita bahas di sini adalah cerita dibalik Sendang Pucung dan Gedong saja.Sendang Pucung Peninggalan Sang Wali Di desa Platarejo, kecamatan Giriwoyo, Wonogiri terdapat cerita yang diwariskan secara turun temurun. Cerita itu bernama Sendang Pucung. Sendang Pucung sendiri adalah sumber air (sendang) yang berada di lereng gunung Pager Gunung desa Platarejo yang dianggap sebagai bukti nyata dari kebenaran cerita tersebut. Sampai sekarang sendang tersebut tidak pernah kering dan airnya dimanfaatkan oleh warga sekitar lereng gunung Pager Gunung untuk keperluan sehari-hari. Menurut cerita dahulu terdapat para Wali (namanya tidak diketahui) yang ingin sembah yang sholat di lereng Pager Gunung. Para Wali tersebut mencari air untuk wudlu kesana-sini tetapi tidak menemukannya. Wali tersebut akhirnya duduk di sebuah batu besar untuk sekedar istirahat karena lelah sambil menancapkan tongkatnya (teken) ke tanah. Tiba-tiba dari sela-sela tongkat tersebut keluarlah air. Kemudian air itu pun digunakan untuk wudlu oleh Wali tersebut. Wali yang tidak diketahui namanya tersebut kemudian sholat diatas batu besar di dekat ia menancapkan tongkatnya. Di batu besar tersebut terdapat lekukan seperti bekas lutut seseoranng. Bekas tersebut yang kemudian dipercaya masyarakat sekitar sebagai bekas lutut sang Wali ketika sedang sholat. Sayang sekali batu besar yang dimaksud tersebut sudah longsor dan bekas lututnya sudah tidak jelas karena berada di bawah. Sedang tongkat dari Wali tersebut berubah menjadi pohon Jati yang sekarang sudah besar dan batangnya dikelilingi beringin. Itulah yang dijadikan warga sekitar sebagai bukti nyata kebenaran cerita tersebut. Terdapat pula mitos yang beredar diantara para warga bahwa tidak boleh mencuci baju pada sendang tersebut karena baju cuciannya tidak akan kering nantinya. Kepercayaan itu sudah ada sejak lama. Selain itu juga terdapat mitos bahwa air sendang bertuah. Begitu pula dengan hewan-hewan yang hidup di sendang tersebut seperti kecebong, katak, kepiting dan lain-lain dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Memang hanya sebatas mitos saja, belum ada penelitian ilmiah mengenai Sendang Pucung. Sendang Pucung juga sering digunakan sebagai salah satu “sumber pitu” oleh orang-orang yang ingin mendapatkan kesaktian, dengan cara mandi pada tujuh sumber pada malam tertentu. Sayang memang tempat yang seharusnya dilestarikan dan digunakan untuk hal-hal yang positif malah dikaitkan dengan hal-hal mistis dan berbau syirik. Tetapi banyak juga orang dari luar daerah yang datang ke Sendang Pucung khusus untuk menunaikan sholat di tempat tersebut. Itulah cerita mengenai Sendang Pucung. Sampai sekarang cerita tersebut masih dipercaya oleh warga sekitar den terus diwariskan pada generasi berikutnya. Terbukti dengan keadaan sendang yang bersih dan terpelihara pelihara oleh warga sekitar. Gedong, Saksi Kesaktian Mbah Bayi Masih ada cerita lainnya di dusun Watu Ireng, desa Platarejo. Cerita tersebut adalah legenda Bayi Langgeng yang sering dipanggil mbah Bayi. Dipanggil mbah Bayi karena dahulu pada masa hidupnya giginya memang tidak tumbuh sampai tua. Mbah bayi dikenal sebagai orang yang sakti. Kesaktiannya dapat terlihat ketika mencari air sering menggunakan keranjang moto ero (keranjang yang terbuat dari anyaman bambu dan digunakan sebagai tempat rumput) namun anehnya airnya tidak tumpah. Selain itu ketika minta api kepada tetangga mbah Bayi menggunakan kembennya namun kembennya tersebut tidak terbakar. Dicerikatan dahulu pada saat perang Kedander (perang pada jaman Raden Mas Said, Pangeran Sambernyowo dan Mangkunegaran I) mbah Bayi ikut andil melawan penjajah. Perang Kedander sudah mulai mendekati daerah Watu Ireng, Platarejo, mendengar hal tersebut mbah Bayi berjuang bersama rakyat melawan penjajah. Dalam perang tersebut mbah Bayi menggunakan kuda sebagai tumpangannya. Mbah Bayi begitu gigih melawan penjajah hingga terjadi perang yang begitu dahsyat. Saking dahsyatnya perang tersebut diceritakan bahwa tebalnya darah di tanah sampai pergelangan kaki. Singkat cerita mbah Bayi dan prajurit lainnya berhasil menghalau penjajah dan perang menjauh dari daerahya. Bayi Langgeng atau yang lebih dikenal mbah Bayi adalah orang yang suka olah raga (meditasi atau bertapa). Ia mendapatkan kesaktiannya juga melalui meditasi. Dalam perang Kedander mbah Bayi menggunakan beberapa senjata yang sakti. Selain itu juga menggunakan baju Gundil. Baju Gundil adalah baju yang berbentuk rompi yang dipercaya untuk keamanan perang. Konon baju tersebut kebal dari berbagai senjata. Mbah Bayi mendapatkan baju tersebut bermula dari meditasi selama 40 hari 40 malam serta tidak makan dan minum di sebuah cekungan (tempat yang dimaksud sekarang masih ada dan sekaligus sebagai makam mbah Bayi nantinya).

Sumber:http://aguspurnomoarea.blogspot.sg/2014/09/sejarah-desa.html


Tidak ada komentar:

Posting Komentar